Jumat, 30 Agustus 2013

PANCARAN PESONA PEPADUN

Masyarakat Lampung ditopang dua adat, yaitu adat Pepadun dan adat Sebatin, adat Sebatin umumnya berada di pesisir pantai dan terdiri dari empat wilayah yaitu yang pertama Liwa, Krui, daan Semaka, kedua adalah Teluk Betung, Cukuh Balak, ketiga Merinting, dan Kalianda, dan keempat adalah Melinting, sedangkan Pepadun merupakan klan terbesar di Lampung yang terletak selain di pesisir pantai dan terbagi menjadi lima wilayah yaitu Lima wilayah Way Kanan, Sungkai Bunga Mayang, Abung Siwo Migo, migo Pak Menggala, dan yang terakhir adalah Pubian Tiga Suku. Dari kelompok Pepadun dan Sebatin inilah yang mengilhami Siger berlekuk 9 (sembilan) seperti yang kita lihat menjadi lambang Provinsi Lampung. Pada kesempatan ini akan dibahas hasil penelitian kami tentang masyarakat adat Pepadun khusunya Kebuayan Lima Way Kanan. Masyarakat Adat Lampung Pepadun berlandaskan hasil musyawarah daam memutuskan sesuatu, hal inilah yang menjadi terminologi dari pepadun yang bermakna bupadun yang artinya bermusyawarah, hal ini tercermin dari bentuk pepadun berupa bangku tempat duduk yang di zaman dahulu dipakai tempat duduk bermusyawarah. Sejarah munculnya adat pepadun sendiri berawal dari Aditya Warman, seorang Raja di kerajaan Damas Raja yang berasal dari Jambi, kemudian Aditya Warmanbeserta pengikut-pengikutnya pindah ke kota Pilliang, Minangkabau. Dikota tersebut Aditya Warman menikah dengan anak penghulu Minangkabau Ninik Ketemanggungan yang bernama Tuan gadis Jamilah, Aditya Warman kemudian mendirikan keratuan Pagaruyung, Keratuan Pagaruyung mempunyai keturunan bernama Ruh Tunggal. Kemudian Ruh Tunggal mempunyai anak Umpu Say Tunggal, selanjutnya Ruh Tunggal pindah ke Bengkulu dan kemudian menetap di rejang. Selanjutnya di rejangUmpu Say Tunggal menikah dengan gadis Rejang, kemudian mendapat seorang anak laki-laki yang bernama Umpu Serunting, Umpu Serunting menikah dengan anak gadis Ratu Belalau Sekremong sehingga dapat mendirikan keratuan Pemanggilan si Sekala Brak yang bertempat di Bukit Barisan, Kejayaan kerajaan tersebut diperkirakan pada awal abad IX M. Umpu Serunting mempunyai lima orang anak, empat laki-laki dan satu perempuan, kelima anak tersebut adalah: Indor Gajah yang bergelar Ratu di Puncak, Belenguh, Pak Lang, Pandan, dan Sangkan. Mereka memiliki daerah kekuasaan sendiri-sendiri, tapi masih ada perbedaan pendapat apa penyebab akhirnya mereka berpindah dari kerajaan Sekala Brak. Ada yang berpendapat bahwa alasan penduduk Sekala Brak mencari daerah baru, permasalahan didalam kerajaan, ada juga yang mengatakan bahwa terjadi bencana alam yang sering terjadi, sehingga ada sebagian anggota keluarga kerajaan yang keluar mencari wilayah lain. Anak Keturunan Indor gajah/Ratu di Puncak yang sebanyak tujuh orang, lima laki-laki dan dua perempuan, nama-namanya adalah Ria Begeduh, Pemuka Begeduh, Nunai, Unyi, Bulan (perempuan), Subing, dan Nuban (perempuan). Dari tujuh saudara tersebut, ria Begeduh dan Pemuka Begeduh yang menurunkan orang-orang Lampung Way Kanan. Lima Kebuayan Way Kanan sendiri terdiri dari Lima Kebuayan dan delapan Marga, Lima Kebuayan tersebut adalah Kebuayaan Buay Pemuka, Kebuayaan Buay Semenguk, Kebuayaan Buay Baradatu, Kebuayaan Buay Bahuga, dan Kebuayaan Buay Barasakti. Lima Kebuaya terseut terdiri dari delapan marga, yaitu Marga Pemuka Pengiran udik, Marga Pemuka Pengiran Tuha, Marga Pemuka Pengiran Ilir, Marga Pemuka Raja, Marga Semenguk, Marga Baradatu, Marga bahuga, dan Marga Barasakti. 8 marga tersebut tersebar di seluruh wilayah di Way Kanan, untuk wilayah tempat kami penelitian, Kecamatan Blambangan Umpu, termasuk dalam Marga Pemuka Pengiran Udik. Adat Pepadun memiliki semacam sistem pemerintahan tersendiri yang dinamakan penyeimbang adat. Penyeimbang adat Pepadun ini memiliki lima tingkatan, yang paling tinggi adalah penyeimbang marga yang duduk sebagai raja di suatu kebuaian atau kerajaan yang memimpin di suatu teritori tertentu, kedua adalah penyeimbang tiyuh/pepadun yang juga menjadi penglaku atau pengacara untuk suatu kegiatan adat, ketiga penyeimbang suku, keempat penyeimbang saka, dan tingkatan paling rendah adalah penyeimbang layar. Ketika Indonesia belum merdeka, maka para raja inilah yang menjadi pemimpin tunggal di teritori tertentu. Tapi setelah Indonesia merdeka dan akhirnya kita diikat dalam sebuah ikatan negara, maka hal ini membuat peran raja sudah berbeda karena muncul dualisme kepemimpinan yaitu dalam ikatan negara dan ikatan adat. Karena kondisi yang berbeda, maka penyeimbang adat saat ini juga memiliki peran yang berbeda, dan pada saat ini hanya berlaku tiga tingkatan yaitu penyeimbang marga, penyeimang pepadun, dan penyeimbang suku. Tingkatan yang dimaksud disini memang sangat berbeda dengan kasta yang ada di daerah lain, dalam adat Pepadun memungkinkan untuk naik tingkatan, misalkan ketika sebuah keluarga merupakan penyeimbang suku sangat mungkin untuk naik menjadi penyeimbang marga jika memang memenuhi syarat-syarat tertentu seperti harus memiliki minimal 5 penyeimbang pepadun, dan beberapa syarat yang lain. Berdasarkan bentuknya, Adat Pepadun Way Kanan memiliki beberapa pembagian yaitu: Adat Teradat, Adat Istiadat, Adat Kebudayaan, Adat yang Diadatkan, dan Cempalla Ruwa Belas. Adat Teradat adalah semua peraturan tentang tata cara pengangkatan penyeimbang yang menjadi prinsip dalam upacara adat atau adat Pepadun biasa menyebutnya Begawi. Adat Istiadat adalah semua peraturan tat tertib mengenai budi pekerti, sopan santun, dan perilaku manusia. Pelajaran tata tertib mulai diterapkan di anak-anak hingga mereka dewasa. Antara lain adalah setiap anak-anak yang akan lewat di depan orang tua harus menundukkan badannya tidakdibenarkan cepat dan berlari dan juga tidak dibenarkan berdahak di depan orang lain. Kalau orang Lampung menerima laki-laki maka yang menerimanya hanya cukup laki-laki. Kalau tamu laki-laki dan perempuan maka tamu laki-lai dihadapi tamu laki-laki dan tamu perempuan dihadapi tamu perempuan. Kalau tamu seorang laki-laki akan bertamu di rumah seseorang dan di rumah tersebut tidak ada laki-laki, aka tamu tersebut harus membatalkan niatnya untuk bertamu. Adat Kebudayaan adalah yang mengatur tentang kesenian, pakaian, bahasa, peribahasa, sastra, dan aksara Lampung. Kesenian adat ini bisa terbagi menjadi gerak yang berupa tari-tarian dan suara yang berupa lagu dan alat musik. Mengenai seni gerak, tari asli adat pepadun adalah tari Tanggai, tari ini biasa digunakan di upacara adat/Begawi, tari ini tidak banyak menggambarkan badan karena tanganlah yang banyak digerakkan pada tari ini. Sedangkan untuk seni suara beberapa diantaranya adalah: Pisa’an, syair, pantun-pantun, surat Tijang, dan juga ada alat musik yaitu Kelintang yang bentuknya mirip dengan gamelan Jawa tetapi memiliki suara yang berbeda. Selain itu, juga adat kebudayaan berupa pakaian adat yang khas dan biasa digunakan di upacara adat/Begawi. Bahasa Lampung memang berbeda dan isi dari bahasa tersebut adalah Peribahasa yang berupa nasehat dan petunjuk. Adat Yang Diadatkan adalah peraturan yang mengatur tentang tata cara bukan orang Lampung yang akan menjadi orang adat. Ada dua cara yang bisa dilakukan, yaitu; pertama: orang dari suku lain tersebut diangkat menjadi saudara oleh orang Lampung, proses yang dilakukan adalah memotong kerbau (kerbau hidup atau kerbau mati) dan membritahukan bahwa orang dari suku lain tersebut telah menjadi orang Lampung dan berhak mendapatkan gelar. Kedua, jika seorang anak laki-laki Lmapung mengambil gadis dari suku lain maka gadis tersebut terlebih dahulu diangkat menjadi anak adat oleh seorang penyeimbang sehingga resmilah anak gadis tersebut menjadi orang Lampung. Maka terjadilah proses Hibal menghibal terhadap anak gadis tersebut, pihak anak laki-laki tersebut dalam acara adat menghadap Bapak adat si gadis (bukan bapak kandung). Berarti yang berbesanan adalah orang tua anak laki-laki dan orang tua angkat (adat) si gadis. Berlaku juga sebaliknya, untuk gadis adat Lampung dan laki-laki dari suku lain. Cempala ruwa belas (12), Ugi-ugi Pak Likor (24), dan Silip Walu (8) adalah segala sesuatu yang mengatur tentang hukuman terhadap orang-orang Lampung yang melanggar hukum adat. Masalah ini sangat erat kaitannya dengan hukum adat kuno yang berjudul Kuntara Raja Asa (kalau di Pubian disebut Kuntara Raja Niti). Silip Walu adalah tindakan hukum teringan, sedangkan Cempala ruwa adalah tindakan hukuman terhadap kesalahan-kesalahan pertengahan artinya tidak dibilang ringan tapi juga belum berat, sedangkan Ugi-ugi Pak Likor adalah hukuman berat atas kesalahan-kesalah besar. Contoh pelanggaran Silip Wau adalah seorang laki-laki menegur perempuan lain tidak dihadapan suaminya, contoh dari Cempala 12 adalah seorang laki-laki bertamu kerumah orang lain dan diterima oleh ibu rumah tangga sedangkan suaminya sedang tidak ditempat, dan contoh dari Ugi-ugi 24 adalah pasangan suami istri yang bercerai. Hukuman dari tiap pelanggaran adalah denda sesuai dengan tingakatan kesalahannya, bahkan untuk ugi-ugi 24 bisa kotor pepadunnya dan perlu diadakan acara adat untuk membersihkannya. Oleh: Muhammad Catur Saifudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar